Anak adalah buah hati dan harapan masa depan. Anak walaupun tidak jadi kelanjutan orangtuanya dalam profesi bahkan bakat atau kecenderungannya, tetapi anak adalah kelanjutan orangtua paling tidak dalam namanya karena anak dalam menyandang nama orangtua, bahkan anak adalah kelanjutan orangtua dalam sukses yang diraihnya karena sukses seorang anak pada hakikatnya bukan sukses sang anak pribadi, tetapi sukses orangtuanya yang mendidik, mengarahkan. Dan mengembangkan bakatnya. Demikian juga sebaliknya, kegagalan anak dapat dinilai sebagai kegagalan orangtua, karena pada hakikatnya tidak ada anak yang menjadi sumber kesalahan tetapi orantuanyalah yang salah dalam mendidik dan memberi bekal lisan, tulisan atau keteladanan yang keliru.
Hakikat diatas bukan saja diakui oleh penganut teori Tabularasa yang menggambarkan anak sebagai kertas putih yang belum bertuliskan, tetapi agama Islam pun mengakuinya kendati Islam tidak menganut teori itu. Rasul Islam-Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa: “Semua anak dilahirkan dalam kesucian fithrah, kedua orangtuanya yang menjadikannya menyeleweng dari Fithrah Kesucian itu”.
Anak mestinya merupakan kelanjutan orangtuanya dalam nilai-nilai luhur karena salah satu tugas orangtua adalah mewariskan nilai-nilai luhur itu kepada keturunannya sehingga rantai yang menghubungkan leluhur dengan anak cucu tidak terputus. Disini sekali lagi kita melihat kewajiban anak menjadi penerus orangtuanya.
Semua orangtua mendambakan anak yang sukses, tetapi tidak semua orangtua mampu mengantarkan anaknya menuju tangga sukses. Semua orangtua mencintai anaknya, tetapi tidak semua berhasil menyalurkan cintanya itu secara benar.
Memang orangtua tidak harus mengetahui aneka teori pendidikan. Apalagi menetapkan teori-teori itu pada anak yang dicintai tidak semudah menerapkannya pada anak orang lain. Pengalaman yang diperoleh dari orangtua, atau pelajaran yang dilihat dan diketahui baik dari manusia lain, dari binatang dan tumbuhan, kesemuanya dapat menjadi pelajaran dan bekal buat diri seseorang, tanpa harus mendalami suatu teori. Konon Timur Lank/Timur yang Pincang (1336-1404 M), Raja Mongol dan cucu Genghis Khan (1167-1227M), yang menguasai dan menundukkan Iran, Delhi, sampai Damascus dan Turki-menarik pelajaran dari seekor semut yang mengangkut muatan besar menuju tebing yang tinggi. Berkali-kali semut itu terjatuh tetapi ia tidak berputus asa dan memulai lagi sampai akhirnya dia berhasil. Demikian semangat juang diraih melalui seekor semut.
Abu al-Fahdhl Ahamd (w. 1449 M) dan digelar dengan “Ibnu Hajar” atau secara harfiah beratrti “Putra Batu” pada awal studinya tidak suskes dan hamper akan putus asa. Tetapi ia melihat batu yang berlubang dari tetesan air demi tetesan dan itu yang mengantarnya adar bahwa dengan ketekunan, kesulitan dapat teratasi dan memang akhirnya “keadaan batu yang dilihatnya itu” mengantarnya menjadi seorang pakar dalam ilmu Hadits. Di kalangan ilmuwan nama aslinya tidak dikenal lagi, gelarnya sebagai “Putra Batu”sudah mengalahkan nama aslinya.
Menarik pelajaran tidak harus selalu melalui pengetahuan yang dalam, tetapi juga melalui pengalaman kecil. Tapi, tentu yang cerdas dan paham dapat menarik dan menjelaskan lebih banyak, seperti halnya kita mengikuti modern Islamic parenting seminar.
Banyak orangtua memberi aneka pesan kepada anakanya tetapi tidak banyak yang merekamnya dalam tulisan. Bisa jadi juga ada yang merekamnya tetapi tidak dijelaskan dengan contoh-contoh yang logis, yang sesuai dengan perkembangan zaman dan mudah dimengerti. Rekaman dalam tulisan atau pahatan atau lagu atau apa pun dapat mengekalkan pesan itu, dan menjadikannya melampaui batas usia pemberi pesan dan yang dipesan bahkan dapat langgeng sepanjang masa dan disini sekali lagi kita menemukan rantai yang bersambung antara keturunan dan leluhurnya. Dengan demikian, merekam pesan adalah sesuatu yang sangat baik bahkan dianjurkan.
Pilar-pilar pesan tidak harus selalu sama, bukan karena kondisi, bakat, dan pembawaan anak/yang dipesan berbeda satu dengan yang lain, tetapi juga situasi dan kondisi yang pilarnya pun dapat berbeda. “Ajarlah anakmu, karena mereka hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”. Demikian salah satu orang bijak.
Comments
Post a Comment