Skip to main content

Tata Guna Lahan Berkelanjutan Untuk Memaksimalkan Dampak Dana Desa

"Pencapai Dana Desa selama ini masih memerlukan penyempurnaan. Tugas kita merencanakan, mengelola, dan mengawal Dana Desa ke depan akan semakin berat." -Sri Mulyani Indrawati

Sesuai dengan tujuannya untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan ekonomi yang inklusif dan adil, Indonesia berkomitmen untuk menghindari deforestasi. Karena penyebab deforestasi sering berasal dari kegiatan di luar batas hutan, tidak cukup untuk menyelesaikan deforestasi dengan melakukan aksi-aksi terpisah yang ditujukan untuk kawasan hutan tertentu. Indonesia juga harus bekerja untuk memperkuat ekonomi pedesaan dan meningkatkan kerja sama regional dengan bekerja di berbagai yurisdiksi administratif yang mencakup tata kelola hutan. Untuk memastikan keberhasilan pendekatan yurisdiksi ini, peningkatan kekuatan ekonomi dan pemerintahan desa adalah kuncinya.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah membuat banyak perubahan kebijakan fiskal untuk meningkatkan ekonomi pedesaan, terutama instrumen Dana Desa, Upaya ini sejalan dengan misi pemerintah untuk mengembangkan Indonesia “dari pinggiran”, kata-kata khas Presiden Joko Widodo untuk menekankan prioritasnya pada daerah yang terpinggirkan dan kurang berkembang. Dana Desa ditetapkan menjadi kebijakan nasional berdasarkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan mulai diimplementasikan sejak tahun 2015. Tujuan utamanya untuk mendukung peningkatan kegiatan perekonomian desa melalui pelaksanaan kegiatan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Realisasi Dana Desa terus meningkatkan dari tahun ke tahun. Pada tahun

2015, 2016, 2017 dan 2018, Dana Desa mencapai Rp20,8 triliun, Rp46,7 triliun dan Rp 46,7 triliun. Porsi Dana Desa terhadap dana transfer ke daerah juga terus meningkat, yaitu sebesar 3,4% pada 2015, 7% pada 2016 dan 8,3% pada 2017. Sedangkan dalam APBN 2018, Dana Desa dianggarkan sebesar Rp60 triliun atau setara dengan 7,9% dari dana transfer ke daerah. Penggunaan Dana Desa ini masih berpeluang untuk ditingkatkan di masa mendatang, karena mengingat penggunaannya masih di bawah alokasi maksimum yang sudah ditetapkan undang-undang, yaitu sebesar 10% dari jumlah dana transfer ke daerah.

Dana Desa memiliki peran yang penting dalam meningkatkan perekonomian desa, namun juga berpotensi tidak mendukung kelestarian lingkungan hidup jika pengelolannya tidak sejalan dengan prinsip tata kelola yang berkelanjutan, inklusif, adil dan akuntabel. Dalam esai ini memberikan latar persoalan, identifikasi, perencanaan dan analisis untuk meningkatkan kualitas belanja dana desa untuk tata guna lahan di tiga kabupaten di Kalimantan yaitu, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur. Dipilihnya ketiga kabupaten di dua provinsi di atas, karena daerah tersebut memiliki sumber daya hutan yang memberikan penghasilan, kesejahteraan, penghidupan dan pada akhirnya kekuasaan, oleh karena itu kepemilikan hutan merupakan hal yang sangat penting.

Dana Desa yang dialokasikan untuk Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Timur dalam tiga tahun terkahir terus mengalami peningkatan. Di Kalimantan Tengah, total Dana Desa yang dialokasikan untuk 1.434 desa yang tersebar di 13 kabupaten meningkat hampir 3 kali lipat dari Rp403 miliar pada 2015 menjadi Rp1,14 triliun pada 2018. Penerimaan rata-rata desa yang bersumber dari Dana Desa pun terus meningkat dari Rp280 juta pada 2015 menjadi Rp863 juta pada 2018. Sedangkan di Kalimantan Timur, total Dana Desa yang dialokasikan untuk sekitar 841 desa yang tersebar di 7 kabupaten pada 2018 telah mencapai Rp730 miliar atau meningkat 2,5 kali dibandingkan alokasi pada 2015. Penerimaan rata-rata per desa bersumber dari Dana Desa di Kalimantan Timur yang bersumber dari Dana Desa pun terus meningkat dari Rp290 juta pada 2015 menjadi Rp720 juta pada 2018.

Berdasarkan hasil importance performance analysis yang penulis gunakan dalam menelaah pergeseran peranan masing-masing sektor dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) bahwa kegiatan ekonomi utama Kalimantan berada pada sub sektor minyak dan gas, batubara, kelapa sawit, besi baja, bauksit dan perkayuan. Maka dari itu, dalam mendorong dampak belanja Dana Desa, daerah yang penulis pilih yaitu di tiga kabupaten di Kalimantan yaitu, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur, yang dikhususkan dalam rangka mendukung tata guna lahan berkelanjutan.

Perencanaan pembangunan desa dilaksanakan dengan proses bottom-up di mana desa memiliki tingkat kebebasan dan fleksibilitas yang tinggi dalam menentukan arah kebijakan pembangunannya. Terbatasnya kapasitas dan pengalaman aparat desa dalam merancang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), khususnya dalam mengidentifikasi pentingnya aspek-aspek berkelanjutan dalam pembangunan desa, merupakan salah satu tantangan utama dalam mendorong pembangunan yang berkelanjutan di tingkat desa.

Keterbatasan ini pada akhirnya berdampak langsung pada perencanaan penggunaan Dana Desa, yang ditandai dengan minimnya kontribusi Dana Desa dalam mendukung tata guna lahan yang berkelanjutan. Adapun penggunaan Dana Desa terkait pelestarian lingkungan yang berhasil terindentifikasi hanya terbatas pada kegiatan yang bersifat penanggulangan bencana yang memiliki dampak langsung kepada warga desa seperti penanggulangan kebakaran hutan. Selain itu, di salah satu desa di Kabupaten Berau, kegiatan seperti kerja bakti justru diinterpretasikan sebagai kegiatan pelestarian lingkungan. Di sisi lain, kegiatan yang sifatnya lebih preventif seperti pembasahan lahan gambut belum terindentifikasi.

Selain aspek kapasitas, minimnya jumlah sumber daya manusia dan terbatasnya waktu pelaksanaan penggunaan Dana Desa juga memberikan insentif kepada aparat desa untuk mengalokasikan Dana Desa pada setiap kegiatan dengan serapan anggaran yang besar, seperti belanja kebutuhan infrastruktur desa. Sampai saat ini, belum adanya panduan teknis yang mencukupi untuk memandu aparat desa dalam melakukan perencanaan alokasi dan penggunaan Dana Desa. Akibatnya, pemerintah desa tidak memiliki suatu referensi untuk menentukan apakah suatu kegiatan telah memenuhi syarat pendanaan menggunakan Dana Desa, dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak mendanai kegiatan tersebut.

Salah satu dampak dari tidak adanya panduan teknis terkait penggunaan Dana Desa adalah tidak didanainya kegiatan-kegiatan yang mendukung tata guna lahan berkelanjutan. Meskipun pembangunan infrastruktur masih mendominasi penggunaan Dana Desa, kegiatan-kegiatan yang mendukung peningkatan produktivitas pertanian dan pengelolaan sampah justru tidak dapat didanai secara maksimal karena tidak adanya peraturan atau panduan teknis yang secara jelas menyebutkan bahwa kegiatan- kegiatan tersebut memenuhi syarat didanai untuk meningkatkan belanja Dana Desa. Analisis yang penulis himpun bahwa perencanaan pembangunan desa dan daerah yang berjalan secara terpisah akan memiliki dampak terhadap minimnya penggunaan Dana Desa untuk kegiatan pelestarian lingkungan.

Pada umumnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) disusun dengan memasukkan tujuan dan target yang lebih komprehensif dibandingkan dengan Rencana Pembangnan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), termasuk target yang diberkaitan dengan pelestarian lingkungan. Tidak semua desa telah menyelaraskan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) maupun RPJM Desa dengan RPJMD. Studi literatur yang penulis lakukan mayoritas desa-desa di Pulau Jawa telah memulai penyelarasan ini. Koordinasi antara pemerintah desa dengan pemerintah daerah dalam hal perencanaan pembangunan, pemantauan dan evaluasi implementasi Dana Desa juga menjadi tantangan lain yang mengakibatkan terbatasnya ruang bagi pemerintah daerah untuk memberikan masukan terkait pentingnya aspek pelestarian lingkungan dalam pembangunan dan perkembangan desa.

Untuk itu, penulis menganalisis bahwa terdapat beberapa peluang dalam pemanfaatan untuk meningkatkan kontribusi dan meningkatkan belanja Dana Desa dalam mendukung tata guna lahan berkelanjutan, yaitu dengan upaya peningkatan koordinasi serta penyusunan panduan yang komprehensif. Perencanaan pembangunan desa dengan dorongan Dana Desa yang signifikan jumlahnya membutuhkan kapasitas aparat desa yang baik. Kapasitas aparat desa dalam perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, hingga pelaporan belanja Dana Desa akan berpengaruh terhadap pengelolaan Dana Desa yang efisien, efektif dan akuntabel. Oleh karena itu, pendampingan desa perlu dirancang dan dilaksanakan untuk meningkatkan kapasitas tersebut.

Pendampingan desa dalam mendukung tata guna lahan berkelanjutan di Pulau Kalimantan yaitu, Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur mencakup 3 aspek perencanaan pembangunan desa berkelanjutan, aspek administratif pengelolaan keuangan desa dan aspek subtansi tematik sesuai dengan prioritas kebutuhan desa, contohnya pengelolaan pariwisata desa, pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), pengelolaan pariwisata desa, usaha masyarakat, pengelolaan hutan desa dan lain sebagainya. Pedoman teknis yang ada saat ini cenderung mentitikberatkan pada aspek administrasi pengelolaan Dana Desa khususnya terkait dengan penyediaan syarat-syarat penyaluran dan teknis pelaporan. Di samping pedoman mengenai aspek administrasi Dana Desa, pedoman yang rinci mengenai subtansi penggunaan Dana Desa juga sangat dibutuhkan.

Pedoman ini memberikan garis besar mengenai bidang-bidang urusan desa yang harus diprioritaskan. Selain itu, pedoman juga harus dapat menerjemahkan lebih rinci kegiatan apa dalam lingkup bidang tersebut yang perlu diprioritaskan di setiap desa, dengan memperhatikan rencana perencanaan pembangunan daerah. Daerah yang memiliki perhatian khusus terhadap tata guna lahan perlu eksplisit menuangkannya ke dalam pedoman yang teknis. Selain itu pedoman ini juga dapat dirancang untuk memberikan batasan kegiatan yang tidak dapat dibiayai Dana Desa. Desa sebagai pemangku utama Dana Desa memiliki hak untuk menentukan alokasi penggunaannya. Meski demikian, keselarasaan perencanaan pembangunan desa dengan pembangunan daerah akan mewujudkan tata kelola keuangan yang efisien, efektif dan akuntabel. Hal ini telah dimandatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014 yang mengatur sinkronisasi perencanaan pembangunan desa dan kabupaten.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), selaku Lembaga perangkat daerah yang menjalankan fungsi perencanaan di daerah perlu lebih banyak dilibatkan dalam pengelolaan Dana Desa. Beberapa contoh yang telah dilakukan di Provinsi Jawa Tengah dengan menunjukkan dua langkah penyelarasan. Pertama, penyelarasan RPJM Desa dengan RPJMD. Kedua, penyelarasan RKP Desa dengan RKPD Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Kebumen adalah beberapa contoh daerah upaya penyelarasan RKP Desa dengan RKPD. Kebijakan Dana Desa berhasil meningkatkan kemampuan keuangan desa sehingga membantu desa dalam merealisasikan program-program pembangunannya. Namun sejumlah tantangan masih perlu diselesaikan guna meningkatkan pengelolaan Dana Desa yang lebih efektif, efisien, akuntabel dan berkelanjutan. 

Penulis mengidentifikasi dengan mengggunakan importance performance analysis berbagai peluang pengelolaan Dana Desa yang mengedepankan keterpaduan antara pemerintah daerah dan pemerintah desa dalam menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa dan adanya panduan dan pendampingan pembangunan desa yang komprehensif dan efektif guna meningkatkan kontribusi Dana Desa dalam mendorong tata guna lahan berkelanjutan yang tetap mengedapankan prinsip ekonomi desa. Maka dari itu, penulis merekomendasikan kepada pemerintah daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Berau di Provinsi Kalimantan Timur melalui kewenangan yang ada, untuk: 
  1. Mengembangkan panduan teknis yang mencakup aspek perencanaan desa, aspek pengelolaan keuangan desa dan aspek sektoral sesuai dengan prioritas kebutuhan desa. Hal ini merupakan opsi untuk meningkatkan tingkat kepastian bagi aparat desa dalam pengambilan keputusan. Panduan teknis tersebut sebaiknya disusun sebagai peraturan kepala daerah untuk memperkuat landasan kebijakan pembangunan desa.
  2. Mengembangkan program pendampingan desa dengan mengacu kepada panduan teknis pendampingan desa yang dikembangkan secara dinamis. Praktik pendampingan desa akan menjadi input bagi perbaikan dan meningkatkan kualitas pendampingan dalam mengalokasikan dampak Dana Desa. 
  3. Menerapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. Meskipun peraturan tersebut memandatkan pemerintah desa untuk penyelarasan perencanaan pembangunan, pemerintah daerah kabupaten dapat berinisiatif untuk bersama pemerintah menjembatani proses penyelarasan perencanaan pembangunan tersebut.
Jika ketiga rekomendasi di atas berjalan akan terjadi sinkronisasi penggunaan Dana Desa dengan perencanaan pembangunan daerah yang diperlukan bagi pemerintahan desa dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektifitas dan akuntabilitas keuangan dan pelayanan publik kepada masyarakat untuk meningkatkan kualitas sinkronisasi dan penggunaan Dana Desa. Akhirnya, dengan melibatkan desa sebagai pelaksana reforma agraria dan perhutanan sosial, untuk mendorong terciptanya tata guna lahan yang berkelanjutan tidak mustahil redistribusi aset dan akses lahan pertanian bagi petani di Pulau Kalimantan dapat tercapai dan akan bisa melampaui target yang sekarang ini dicanangkan oleh pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla.

Referensi
[1] Antlöv, Hans, Anna Wetterberg dan Leni Dharmawan. 2016. Village Governance, Community Life, and the 2014 Village Law in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economics Studies, Volume 52, Issue 2.
[2] Buku Saku Dana Desa Kementerian Keuangan RI
[3] Meutia, Inten dan Liliana. 2017. The Management of Village Fund Finances. Jurnal Dinamika Akuntansi, Vol 9, No 1, 63-81.
[4] Olken, Benjamin A. (2007). Monitoring Corruption: Evidence From a Field Experiment in Indonesia. Journal of Political Economy, 115(2), 200–249.
[5] Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa 
[6] Suryahadi, Asep dan Ridho Al Izzati. 2018. Cards for the Poor and Fund for Villages: Jokowi Initiatives to Reduce Poverty and Inequality. Journal of Southeast Asian Economies, Volume 35, Number 2, 220-222.
[7] Sutiyono, Guntur, Saeful Muluk, Tiza Mafira, dan Randy Rakhmadi. 2018. Indonesia’s Village Fund: An Important Lever for Better Land Use and Economic Growth at the Local Level. A CPI Report, 1-18. 
[8] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

*Esai di atas pernah dilombakan pada lomba esai nasional Administrasi Publik Science Fair 2018, Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Comments

Popular Post

Economic Growth in Indonesia: An Assessment

Quality economic growth seems to be a mantra that must be uttered by policymakers and academics in every seminar on economic development in Indonesia. The characteristics of quality economic growth are high, sustainable growth and creating jobs. Based on data from the Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2019: Towards Smart Urban Transportation , it shows that Indonesia's economic growth projection is 5.3%. Higher than Malaysia, which is projected to grow by 4.6%, Thailand 3.7%, and Singapore 2.7%. Moreover, in the past decade, Indonesia's economic growth has been relatively stable at 5% per year and is among the highest in the world along with China, Brazil, India, and South Africa.  However, the question is whether Indonesia's economic growth is enjoyed by most Indonesian people? How is the distribution of economic development growing bigger, both individually and regionally? The answer to the question above does not seem to be encouraging. The trend o

Family Visioneering

Anak adalah buah hati dan harapan masa depan. Anak walaupun tidak jadi kelanjutan orangtuanya dalam profesi bahkan bakat atau kecenderungannya, tetapi anak adalah kelanjutan orangtua paling tidak dalam namanya karena anak dalam menyandang nama orangtua, bahkan anak adalah kelanjutan orangtua dalam sukses yang diraihnya karena sukses seorang anak pada hakikatnya bukan sukses sang anak pribadi, tetapi sukses orangtuanya yang mendidik, mengarahkan. Dan mengembangkan bakatnya. Demikian juga sebaliknya, kegagalan anak dapat dinilai sebagai kegagalan orangtua, karena pada hakikatnya tidak ada anak yang menjadi sumber kesalahan tetapi orantuanyalah yang salah dalam mendidik dan memberi bekal lisan, tulisan atau keteladanan yang keliru.  Hakikat diatas bukan saja diakui oleh penganut teori Tabularasa yang menggambarkan anak sebagai kertas putih yang belum bertuliskan, tetapi agama Islam pun mengakuinya kendati Islam tidak menganut teori itu. Rasul Islam-Nabi Muhammad SAW menegaskan bahw