Skip to main content

Perguruan Tinggi Mahal, Benarkah?

Saya cukup sebal ketika banyak yang menyatakan bahwa perguruan tinggi itu mahal. Tulisan ini terinspirasi dari acara talkshow di metro tv tentang biaya perguruan tinggi mahal. Di dalam acara tersebut, sorotan utama adalah bahwa harga masuk perguruan tinggi mahal sehingga hanya segelintir orang saja yang mampu menikmatinya. Sehingga, bukanlah hal yang mengagetkan ketika dilihat dari persentase, mahasiswa yang berada dari golongan mampu adalah sekitar 90% lebih.
Saya cukup sebal melihat cara media menyampaikannya kepada masyarakat luas dalam acara talkshow itu. Pembahasan mengenai harga PTN mahal menurut saya terlalu dibahas berlebihan dan seolah-olah memojokkan PTN. Seolah-olah, PTN dengan sengaja membuat mahal harga masuknya dengan tujuan mengeruk uang sebanyak-banyaknya.
Padahal, menurut saya, harga PTN yang menjadi mahal itu adalah suatu akibat dari kurangnya (atau bahkan mungkin tidak adanya) dana dari pemerintah. Pemerintah merupakan penanggungjawab atas pendidikan bangsa Indonesia. Memang, anggaran 20% sudah disiapkan bagi pendidikan. Pendidikan secara keseluruhan, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Apakah itu cukup? Saya rasa tidak.
Sebenarnya, inti dari tulisan saya ini, bukan membahas tentang PT mahal. Tapi, saya tidak senang dengan media yang terlalu membesar-besarkan tentang harga PTN yang mahal, tanpa memberikan komparasi yang cerdas kepada masyarakat luas, tentang alasan mengapa harga PTN itu mahal. Dari judul talkshow pada 8-11 Show di Metro TV dengan judul MAHALNYA MASUK PTN saja telah mencetak paradigm awal masyarakat bahwa masuk PTN itu pasti mahal dan tidak ada penjelasan mengapa PTN itu mahal.
Menurut saya, media itu seharusnya sebagai wadah pencerdasan, bukan wadah provokasi. Jika memang bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat tentang alasan PTN yang mahal, seharusnya dari judul pun bukan seperti itu. Mengapa tidak ditulis dengan kalimat, MAHALNYA MASUK PTN, MENGAPA? Dengan judul seperti itu, menurut saya akan membuat masyarakat berpikir bahwa ternyata ada sesuatu alasan di balik PTN yang mahal.
Pembahasan PTN yang mahal menurut saya sudah seharusnya bagian yang disoroti bukan hanya dari pihak PTNnya saja. Pemerintah adalah penanggungjawab utama tentang pendidikan di negeri ini. Ambil contoh saja, di kampus saya, ITB. Bayangkan saja, ITB dengan puluhan laboratoriumnya, ratusan dosen, ratusan karyawan lab, lalu tidak diberikan pembiayaan yang cukup oleh pemerintah, bagaimana bisa hidup?
Dengan tujuan ingin menjadi World Class University dalam 25 tahun ke depan, apakah itu bisa terwujud? Bagaimana kemudian selanjutnya ITB bisa mencetak para ilmuwan-ilmuwan berkelas dunia, jika ITB tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayainya? Bayangkan, dengan gaji dosen yang kecil, pada akhirnya dosen pun memilih untuk ikut proyek di luar sana, hingga terkadang tidak focus untuk mendidik mahasiswanya. Jika ITB memang didanai secara cukup oleh pemerintah, tentulah ITB pasti tidak akan memasang tariff mahal seperti sekarang ini. Tentulah ITB bisa menggaji dosen secara layak sehingga dosen pun bisa fokus pada mahasiswannya dan dengan penelitiannya. Tentulah ITB bisa merawat laboratorium dengan baik.
Itu hanya contoh saja, yang saya rasakan di kampus saya. Bukan itu tapi maksud saya. Sekali lagi, maksud saya adalah, seharusnya media bisa mencerdaskan masyarakatnya. Tidak dengan cara menyampaikan secara berlebihan. Tapi, harus dengan komparasi cerdas. PTN mahal. Mahal kenapa. Pasti ada alasannya. Yang masyarakat perlu tahu bukan PTN mahal, tapi alasan mengapa PTN itu bisa jadi mahal. Masyarakat sudah tahu tentang PTN mahal, tapi alasan mengapa PTN bisa mahal, itulah yang masyarakat belum paham betul.
Jadi, menurut saya, ketika ada topik mengenai PTN mahal, seharusnya tidak hanya dari pihak PTNnya saja yang dibahas, tapi pemerintah lah yang seharusnya dititikberatkan. Pendidikan rakyat Indonesia itu tanggungjawab pemerintah. Ketika PTN menaikkan harga sedemikian mahalnya, seharusnya menjadi pertanyaan besar adalah mengapa pemerintah bisa membiarkan harga PTN sedemikian mahal. Dengan membiarkan PTN mahal, bisa jadi itu berarti salah satu gejala pemerintah tidak mau ataupun gagal dalam mengelola pendidikan di negeri ini.

Comments

  1. call me ASAP 082115634274 need ur news.. i just want to tell u some thing..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Post

Tata Guna Lahan Berkelanjutan Untuk Memaksimalkan Dampak Dana Desa

"Pencapai Dana Desa selama ini masih memerlukan penyempurnaan. Tugas kita merencanakan, mengelola, dan mengawal Dana Desa ke depan akan semakin berat." -Sri Mulyani Indrawati Sesuai dengan tujuannya untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan ekonomi yang inklusif dan adil, Indonesia berkomitmen untuk menghindari deforestasi. Karena penyebab deforestasi sering berasal dari kegiatan di luar batas hutan, tidak cukup untuk menyelesaikan deforestasi dengan melakukan aksi-aksi terpisah yang ditujukan untuk kawasan hutan tertentu. Indonesia juga harus bekerja untuk memperkuat ekonomi pedesaan dan meningkatkan kerja sama regional dengan bekerja di berbagai yurisdiksi administratif yang mencakup tata kelola hutan. Untuk memastikan keberhasilan pendekatan yurisdiksi ini, peningkatan kekuatan ekonomi dan pemerintahan desa adalah kuncinya. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah membuat banyak perubahan kebijakan fiskal untuk meningkatkan ekonomi pedes

Economic Growth in Indonesia: An Assessment

Quality economic growth seems to be a mantra that must be uttered by policymakers and academics in every seminar on economic development in Indonesia. The characteristics of quality economic growth are high, sustainable growth and creating jobs. Based on data from the Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2019: Towards Smart Urban Transportation , it shows that Indonesia's economic growth projection is 5.3%. Higher than Malaysia, which is projected to grow by 4.6%, Thailand 3.7%, and Singapore 2.7%. Moreover, in the past decade, Indonesia's economic growth has been relatively stable at 5% per year and is among the highest in the world along with China, Brazil, India, and South Africa.  However, the question is whether Indonesia's economic growth is enjoyed by most Indonesian people? How is the distribution of economic development growing bigger, both individually and regionally? The answer to the question above does not seem to be encouraging. The trend o

Family Visioneering

Anak adalah buah hati dan harapan masa depan. Anak walaupun tidak jadi kelanjutan orangtuanya dalam profesi bahkan bakat atau kecenderungannya, tetapi anak adalah kelanjutan orangtua paling tidak dalam namanya karena anak dalam menyandang nama orangtua, bahkan anak adalah kelanjutan orangtua dalam sukses yang diraihnya karena sukses seorang anak pada hakikatnya bukan sukses sang anak pribadi, tetapi sukses orangtuanya yang mendidik, mengarahkan. Dan mengembangkan bakatnya. Demikian juga sebaliknya, kegagalan anak dapat dinilai sebagai kegagalan orangtua, karena pada hakikatnya tidak ada anak yang menjadi sumber kesalahan tetapi orantuanyalah yang salah dalam mendidik dan memberi bekal lisan, tulisan atau keteladanan yang keliru.  Hakikat diatas bukan saja diakui oleh penganut teori Tabularasa yang menggambarkan anak sebagai kertas putih yang belum bertuliskan, tetapi agama Islam pun mengakuinya kendati Islam tidak menganut teori itu. Rasul Islam-Nabi Muhammad SAW menegaskan bahw